“Tolong…!!” suara laki-laki pertama.
“Maaf … maafkan aku!!” suara laki – laki yang kedua.
“Aku … aku menyesal…!!” suara laki – laki yang ketiga.
“Tidak…!!” ketiga laki – laki itu terbangun dari tidurnya, peluh membajiri leher dan kening yang berkerut ketakutan. Laki – laki pertama langsung membasahi tenggorokannya yang capek karena berteriak dengan air putih. Laki – laki kedua berjalan menuju arah telepon, lalu memencet beberapa nomor, tak lama kemudian lalu berkata pada orang yang ditujunya, “Tolong perketat penjagaan!” Laki – laki ketiga terburu – buru menghampiri senapan yang digantung di dinding lalu mememluknya erat seolah musuh mengintai.
Dari balik kegelapan malam kuintai tiga sosok yang tengah ketakutan. Ketakutan yang berasal dengan dalil mimpi buruk. Di balik dendamku pada manusia.
“Dokter… tolog anak saya Dokter, badannya panas tinggi, dari tadi kami diping – pong kesana kemari!!” seorang istri memelas memohon kepadaku untuk menangani anaknya.
“Baiklah…!” jawabku.
“Dokter, seorang pejabat menglami kecelakaan. Tepat di bagian rongga dalam, butuh penanganan segera!!” beberapa perawat datang tergopoh – gopoh. Tetapi aku harus menangani anak yang tampak kesakitan itu.
“Hei… selamatkan saja dulu pejabat itu. Anak itu bisa ditangguh kan? Bayangkan jika kamu bisa menyelamatkan seorang pejabat? Titelmu sebagai dokter ahli dalam akan semakin berkibar? Tinggalkan saja anak itu!!” suara hatiku membisikkannya di telingku.
“Baikalah suster, segera siapkan operasi!!” perintahku.
“Dokter bagaimana dengan anak kami? Dokter…” teriakan seorang ibu yang menanti pertolongan itu menyayat terdengar oleh telingku. Tapi kakiku tetap melangkah.
“Bagus… kau kau akan menjadi dokter hebat dan terkenal!!!”lagi – lagi suara hatiku membisikiku.
“Tidaak… Buyung bangun nak…!!”
Kulihat seorang pasangan suami istri yang tadi pagi memeluk anaknya yang kini benar – benar terkulai tak kan dapat bergerak lagi. Peluh dan lelah tergurat di wajah mereka. Tiba - tiba aku melihat seraut wajah menakutkan saat mereka melihatku.
“Dokter… kau lihat? Seandainya… seandainya…,” teriak suami istri itu, sambil menjambak jas putih kebanggaanku.
“Maaf… harga nyawa setiap manusia tidak sama!!” jawabku sambil melepaskan genggaman tangannya dari jas putihku.
“Dia harus dapat hukuman mati, itu hukuman yang setimpal bagi seorang koruptor,” sambil kubuka berkas – berkas kasus yang sedang kutangani sekarang.
Kriiiing…..!!!
“Ya… saya tunggu !!” jawabku pada seseorang di telepon. Tak lama kemudian datang seseorang laki – laki dengan pakaina hitam. Membawa bungkusan coklat yang lumayan tebal walau tak terlalu besar.
“Ini… silahkan!!” tanpa basa – basi laki – laki itu menyerahkan bungkusan coklat itu padaku. Langsung kubuka untuk kulihat isinya karena laki – laki itu tidak terlalu banyak bicara. Kaget atau entahlah ada perasaan lain di hatiku melihat isinya. Lembaran – lembaran berwarna merah dengan angka yang tercantum melilit ditengahnya, 100.000.000!!
“Apa maksudnya?” tanyaku tak mengerti.
“Tolong… berikan keringanan untuk hukuman ‘dia’!!” jawab laki – laki itu singkat.
“Nanti… biar kami cari jalan keluar, jika memang harus ada yang dikuman mati.” Lanjutnya lagi tanpa ekspresi.
“Maksudmu kambing hitam?” tanyaku heran.
“Ya… karena harga nyawa manusia itu berbeda!!” jawabnya singkat. Mendengarnya ada susra dihatiku, “Ayo… ikuti saja, jika tidak, kau selamanya menjadi hakim yang miskin!!” Entah kapan dan kenapa kuanggukan kepalaku. Dan esoknya kuberikan hukuman 10 tahun penjara untuk ‘dia’ sang koruptor.
“Ingat tembak, jika kalian melihat musuh!” peringatan komandan terngiang – ngiang terus di telingaku.
“Hei… aku berpikir untuk apa kita harus berperang dengan saudara kita sendiri?” Tanya Tono, salah satu rekanku.
“Karena mereka akan menggangu stabilitas keamanan nasional!!” jawabku sesuai dengan teori yang sealu kudengar dan kubaca sebagai seorang militer.
“Walaupun mereka saudara sebangsa kita? Tak adakah jalan yang lebih baik lagi? Tanganku tampak penuh darah yang suatu saat meminta balas!!” ucap Tono dengan wajah yang penuh ketakutan.
Sertifikasi IT
13 tahun yang lalu
0 komentar:
Posting Komentar